Suasana tadi sore benar-benar spesial. Setelah beberapa hari terakhir langit selalu mencurahkan airnya yang berlimpah, kami berharap ada jeda. Mendung sempat menggelayut melewati langit Sekolah Alam Bengawan Solo, membuat hati kami berdebar. Kami tak melawan takdir Tuhan tentang hujan, tapi berharap takdir-Nya bersesuaian dengan kehendak hati kami, agar tidak hujan dahulu. Karena kami tengah menyelenggarakan acara bedah buku tentang tokoh bangsa ini, Prof. B.J. Habibie.
Agenda bedah buku kali ini menghadirkan salah satu penulis dari buku “Habibie The Series”, yang juga seorang akademisi dari Universitas Sebelas Maret dan Pembina Yayasan Taruna Bengawan Solo, Dr. Sutanto, DEA. Sejak pukul 15.30 WIB beliau sudah hadir di kebun SABS dengan membawa tiga tamu yang diperkenalkan kepada keluarga SABS, Ibu Sita seorang warga Belanda beserta dua putrinya yang Indo (keturunan Indonesia-Belanda).
Diskusi bedah buku dimulai tepat pukul 16.00 WIB dengan dimoderatori oleh Yuli Ardika. Tanpa melalui prosesi formal seperti tradisi yang sudah mendarah daging dan membosankan, acara langsung dibuka dengan basmallah dan dimulai dengan pengantar oleh moderator sambil menunggu kesiapan para peserta yang sedang melakukan registrasi dan mengambil jajanan pasar yang disediakan oleh panitia.
Berjumpa dengan “Sang Nabi”
Pada bagian awal moderator memulai dengan pertanyaan seputar perjumpaan penulis dengan Pak Habibie. Pak Sutanto bercerita dengan menggunakan pilihan kata menarik, “iman”. Beliau adalah orang yang “beriman” pada Habibie. Maksudnya adalah konstruksi “iman” harus dipahami bahwa seorang Habibie sebagai tokoh bangsa, telah menelurkan berbagai pemikiran brilian yang visioner, tetapi sebagaimana para Nabi zaman dahulu ketika mereka memaparkan ajaran Tuhan, apakah umatnya langsung menerima?
Cobalah kita membayangkan hidup di zaman Nabi Musa atau Nabi Muhammad, ketika kita mendengar kabar tentang diri mereka sebagai utusan Tuhan lalu mengemukakan berbagai pendapat yang berbeda dari kelaziman manusia saat itu, apakah kita dapat menerima hal itu dengan mudah? Tentu saja tidak. Nah, seperti itu pula zaman ini, ketika Pak Habibie membuat pernyataan bahwa bangsa ini akan segera lepas landas jika mengembangkan teknologi yang highclass mendahului negara-negara lain. SDM ada, tinggal kerja keras dan kepercayaan rakyat yang dibutuhkan. Tapi apakah berjalan sesuai harapan? Ternyata tidak, karena orang-orang Indonesia enggan “beriman” pada visi seorang Habibie.
Karena kesesuaian visi Pak Sutanto pada Pak Habibie, akhirnya beliau mendapat kesempatan bertemu dengan Pak Habibie pada suatu saat. Beliau pun mempersembahkan tulisan kepada beliau. Ternyata Pak Habibie menyukai tulisan beliau dan meminta diterbitkan sebagai buku pada usia 80 tahun bersamaan dengan peluncuran film Rudy Habibie yang bercerita tentang masa muda beliau selama berjuang di Jerman.
Habibie, Pencetak Rekor Pertumbuhan Ekonomi terbesar di Dunia
Pak Sutanto melanjutkan ceritanya ketika Pak Habibie berkuasa selama 500-an hari tersebut, berhasil membuat pertumbuhan ekonomi di Indonesia 12,5 %. Angka tersebut belum pernah dicapai oleh negara manapun di dunia, apalagi untuk keluar dari krisis. Meski demikian, saat itu situasi Indonesia sangat sulit karena ditekan oleh IMF dengan syarat membunuh industri strategis yang telah dibangunnya bertahun-tahun silam.
Hal ini kemudian ditanggapi salah satu peserta yang dahulu pernah bekerja di IPTN. Beliau curhat tentang ditutupnya industri strategis dan bagaimana solusinya. Hal itu direspon oleh Pak Sutanto bahwa proyek pengkaderan yang dilakukan Pak Habibie, belum sampai selesai sempurna, lebih dahulu dihabisi oleh krisis moneter. Hal itu membuat bangsa ini harus mulai dari nol lagi jika ingin bangkit seperti yang dicita-citakan.
Bagaimana mendesain pertumbuhan ekonomi sebesar itu? Menurut beliau kuncinya ada di dua hal. Pertama, konsep link and match, yaitu membangun jaringan yang saling bersesuaian satu sama lain. Dengan kata lain, yang harus dibangun adalah masyarakat yang produktif, bukan yang konsumtif. Kebutuhan dalam negeri harus mulai dicukupi dengan berbagai teknologi mandiri dan sistem yang dapat diciptakan sendiri, tidak semua mengandalkan impor. Hal ini akan membuat kita terhindar dari jebakan mengeksploitasi sumber daya alam seacara ganas demi ditukar dengan aneka produk teknologi dari luar. Yang kedua adalah penguasaan teknologi tinggi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan industri pesawat untuk menghubungkan semua pulau.
Dalam buku yang ditulis, Pak Sutanto mengutip sebuah berita dalam bahasa Prancis bagaimana girangnya presiden Prancis ketika salah satu perusahaan penerbangan di Indonesia memborong ratusan Airbus dengan nilai puluhan triliun. Hal ini sangat konyol dan menyedihkan bagi Indonesia yang memiliki potensi sumber daya manusia luar biasa. Hal ini jangan sampai terjadi lagi, dan kita harus mulai mandiri.
Dari Tolerance Ke Respect
Selanjutnya beliau memaparkan tentang 3 kapital yang harus dibangun dalam pendidikan Indonesia jika ingin membangkitkan generasi seperti Habibie, yaitu kapital akademik, kapital psikologi, dan kapital sosial.
Kapital akademik ditandai dengan capaian kemampuan logika dan bahasa anak secara maksimal, atau dalam bahasa saat ini ya membangun “anak pintar”. Namun pintar saja tidak cukup, mereka harus memiliki kapital psikologi, yakni kekayaan atas kearifan lokal dan nilai kehidupan sehingga tidak down ketika berhadapan dengan perbedaan dan kebudayaan di luar kebiasaannya.
Yang terakhir adalah kapital sosial yang ditandai dengan kemampuan diplomasi tingkat tinggi kepada berbagai pihak. Jangan sampai generasi Indonesia bertemu dengan orang asing justru menunduk-nunduk, tapi harus tetap tegak kepala dan percaya diri. Dengan 3 kapital ini, generasi kita diharapkan tidak hanya matang dalam bertoleransi, tapi naik ke satu tingkat lagi, yakni respect atau menghormati.
Seorang peserta yang juga guru BK sebuah SMA merespon dengan mengeluhkan para siswanya yang punya cita-cita tapi miskin referensi soal cita-cita mereka. Mereka hanya belajar rajin belajar tapi kemudian bingung menentukan pilihannya ketika kuliah.
Hal itu ditanggapi oleh mbak Ambika, putri dari Bu Sita bahwa anak-anak perlu diberi referensi yang lebih banyak dengan dikenalkan langsung ke lapangan. Jika berkaitan dengan perguruan tinggi, anak-anak diajak saja ke kampus agar mereka memiliki gambaran tentang perkuliahan atau datangkan alumni sekolah untuk berbagi cerita mereka kuliah.
Lebih lanjut Bu Sita berpendapat bahwa selama beliau tinggal di Indonesia dan mengamati cara orang tua mendidik anak-anaknya masih banyak yang mendikte anaknya dengan cita-cita versi orang tua. Motif untuk meraih uang menjadi latar belakang utamanya. Mengapa harus uang? Bukankah kepuasan hidup itu bisa dengan berbagai cara, termasuk menekuni passion hingga menghasilkan karya yang sangat bagus. Para peserta pun memberikan tepuk tangan kepada Ibu dari Belanda ini.
Tak terasa, matahari sudah hampir memasuki tempat peraduannya. Akhirnya diskusi ditutup dengan bacaan hamdalah dan saling berjabat tangan satu sama lain.