Hari hari selalu ia tanyakan, ” ini hari senin..terus besok selasa ya bukkk?” Begitu terus isi pertanyaan nya. ” ini sudah hari rabu,setelah itu kamis dan jum atttttt”
Begitu pagi tiba dan kubangunkan ia dari lelap tidur nya, “ini hari apa buk?”sambil setengah mata terbuka. “Hari jum at massss”, sahuntuku ringan sambil merapikan kamar. Langsung mata nya terbelalak dan cepat bangkit penuh semangat. “yeahhhhh…Alhamdulillah sudah hari jum attttt”. Pura-pura tak tahu aku pun bertanya,” memang hari jum at ini mau apa? kok senang bener?”. “Ibukkk.. masak lupaaa? mas isam kan mau ke Gunung..”. “ohhh.. iyaaa, mas isam mau ikut?? gak papa kalo tidak sama ibu disana?”. tanyaku meyakinkan tekad nya kembali. ” berani lah.. gak papa kok gak sama ibu. Aku kan sudah kelas 1 SD”. serunya masih dengan semangat membara.
Hiyuhhh… sebenarnya, bukan Ibu meragukanmu nak. Tapi lebih ke rasa Ibu nanti bagaimana kalau kau pergi jauh dan ini pengalaman out tracking mu yang pertama. Akan kelelahan disana, akan menangis tak ada ibu yang menghangatkanmu, akan panas dan haus tapi tak berani bicara. akan… akan… dan akan banyak hal yang membuat ibumu ini khawatir. Pastinya ibu akan tak bisa tidur semalaman dan tak bisa lepas memikirkanmu sepanjang kau tak pulang. Ohhhh… Ibu tak bisaaa… ibu tak sanggup harus beradu melawan rasa itu nakkk.. Berapa menit kemudian, suara mungil mu membuyarkan kecemasanku,” Ibu, aku ke sekolah dulu jam 11 siang lalu sholat dimesjid dekat sekolah ya, baru keGunung? duhhh… lama banget sihhh jam 11 nya buk?!”. Betapa ini seru untuk mu dan Ibu juga mnunggu, tetapi terasa degdegan harus melepasmu mas.
Ahhh… sudahlah, ikhlas kan sesekali dia berkegiatan jauh dan biarkan ia menempa kemandirian nya. Biarkan dia kuat dengan kaki-kaki kecilnya,badan cungkringnya. Biarkan ia menghapus air matanya sendiri saat Ibu tak ada. Menguatkan hati dan jiwa. Melangkah penuh bahagia bersama teman-teman kecilnya. Kelak, kau akan lebih sering menghadapi tantangan dunia nak. Ibu antar kau sampai di sekolah dan tak kan ku pandang hingga kau menghilang. Ibu segera pulang dan menyiapkan sesuatu yang tak kalah menantang.
Yahhh…”MENYUSULMU NANTI MALAM”
Sekolah tak mengijinkan kami para orang tua untuk ikut menyertaimu sayang, tapi kami boleh menyusul dengan catatatan jangan sampai terlihat oleh anak-anak hingga besok tiba dipuncak. Ohhh,, tak sabarrr,, tak sabar memelukmu keesokan hari di puncak keberhasilan perjuangan mu. Ibu sudah siap sekali dengan perjalanan petualangan ini, melihat perbekalan dan peralatan tempur yang sdh jauh-jauh hari diburu dan ditata. sungguh membuat ku bersemangat juga seperti dirimu nak. Tas Gunung besar berisi selimut, kompor, etanol, bahan makan minum, mukena, baju ganti, pisau, minyak angin, PW dan lain dan lain yang membuat nya terasa berat pun tak kupikirkan, Pokoknya sih SEMANGAAAATTT!!
Hingga perjalanan pun dimulaiii..Let’s Go bebehhh. Geber motor berboncengan dengan Ibu wali murid lain dan rombongan yang beriring-iringan membuat kami serasa berada didepan dan melambai kan tangan untuk disambut. Meski beberapa kali tersesat dan berhenti bertanya dalam gelapnya malam. kami pun tiba di lokasi tepat dibawah tempat anak-anak kami berkemah. “Embung” namanya. Mungkin tempat ini akan lebih terlihat jelas keindahanya jika siang hari. Gunung yang dipotong dan seperti di isi air dipuncaknya, terhiasi lampu-lampu temaram kecil. Hembusan angin malam yang cukup kencang. membuat kami cepat merasakan dinginnya malam. Kerlap-kerlip lampu kota dibawah sana, menjadi penghias gelapnya malam yang gulita. Ternyata dalam keterbatasan mata memandang karna terhalang gelap malam, tak menguranggi kecantikan alam-Mu Tuhan. Ohhh, begitu dekat dengan alam, membuat kita merasa dekat dengan Pencipta.
Memandang puncaknya Embung, membuat pikiran penuh tanya. “sedang apa kau nak?, dinginkah seperti yang Ibu rasa?? tak bisa kah kau tidur ketika tak ada tangan Ibu yang memeluknya?”. Semua begitu membuat Ibu-mu meneteskan air mata dan berkecamuk rasa didada. “Sudah lahh.. sudahhh!! Berhentilah menikmati rasa ini. toh dia hanya berapa ratus meter diatasmu Richieee!!, kata hati ini perlahan meleskan pelukan rasa tak karuan dihati dan jiwa. Ahhh…tapi aku yakin, semua orang tua yang hadir disini terutama seorang Ibu, pasti akan merasakan hal yang sama. Yakin itu sihhh.. dan itu dikuatkan dengan kehadiran mereka melawan jauh dan letih sampai di tempat ini.
Sebetulnya, kami benar-benar tak diijinkan untuk menenggok anak-anak, tapi entah lah orang tua yang mana yang memulai meniti anak tangga untuk menyusul keberadaan anak-anak diatas Embung sana.
Ahhh.. aku pun jadi ikut-ikutan jadinya. Rasa penasaran yang besar membuat tubuhku terpacu maju untuk menemuimu nak.. Walau ada rasa khawatir,bagaimana jika nanti setelah melihat Ibu kau akan kembali merajuk dan memasang muka haru.
Biar lahh.. untuk kali ini sebentar saja kan ku tengok dan kutatap wajah kecilmu. Kemudian Ibu akan berlari bersama hembusan angin malam menuruni anak tangga dan meninggalkan mu untuk kuat disana. Dan benar saja, sesampainya diatas Embung dengan napas tak beraturan, Ibu mulai mencarimu. “isammm… isam… dimana yaaa??”, tanyaku sambil celingukan mencarinya diatara anak-anak lain yang lebih besar darinya. Beribu rasa berkecamuk didada dan akhirnya kutemukan ia sedang duduk bersandar di batu menikmati api unggun yang tinggal sisa-sisa bara nya. Tutup kepala di jaketnya, ia biarkan menutupi telinga dan rambutnya (hhmmm.. rupanya ia ingat pesanku untuk selalu menjaga kehangatan tubuhnya), tangan kecil yang kedinginan itu rupanya ia simpan dalam saku jaket nya. Dan sejurus kemudian sudah berpindah dalam lingkaran pinggangku. Memelukku erat dengan isakan tangisnya (ini lah yang kukhawatirkan jika ia melihat sosokku).
Sebagai Ibu, aku harus faham bahwa ini luapan kata-kata hatinya bahwa ia bahagia melihat Ibu yang sedari tadi mungkin ia pikirkan. Yahhh, perpisahan ini tidak begitu saja mudah tentunya untuk Isam yang tak pernah jauh dari Ibu. Tapi ini lah tujuan dari kegiatan Sekolah nya. Bahwa ia harus kuat, mandiri dan mampu mengalahkan ketakutannya. Aku pun harus menjadi Ibu yang mampu mempercayai nya selalu. Percaya bahwa ia bisa, tega untuk menjadikanya manusia yang tangguh dan aku harus bisa berdamai dengan diri. Bahwa ini akan baik – baik saja.
Beberapa detik kami berpelukan, saling melepas rasa, dan harus segera ku tenangkan ia, “mas.. Ibu tak punya waktu banyak, hanya sebentar saja menemuimu, melihatmu bahwa kamu masih semangat dan bertekad untuk pergi ke gunung disebelah itu!!, Ibu tak memaksamu, kalau kau tak mau, ayo segera ambil tas mu dan pulang bersama Ibu, dan baiknya, mas isam bicara sebelum ibu pulang ya?!”
Masih terisak dia lepaskan pelukanku dan terputus-putus sambil berkata, “Mas isam dingin buk, tapi mas isam tidak mau pulang”. Cukup lah ini sebagai tanda kekuatanmu nak. Dan baiklah, Ibu antar kau tidur ditendamu bersama teman teman yang diatas kelasmu. Terlihat mereka santun dan sayang padamu sebagai adik terkecil dikelompoknya. Menatakan sleeping bag mu, tas untuk bantalmu, dan ada yang memeluk serta menenangkan sisa-sisa tangismu. Dan sampai disini, Ibu tenang kembali, bahwa banyak tangan-tangan kecil lainnya yang penuh kasih dan empati menina bobokkanmu sayang.
Malam itu pun kami berpindah Lokasi. yaaa, menuju Gunung Api Purba. Lokasinya tak begitu jauh andai ditempuh dengan kendaraan bermotor, tapi jika esok hari anak-anak berjalan mungkin akan butuh waktu kurang lebih 1jam perjalanan. Kami pun sampai dan setelah cukup lama berdiskusi dengan orangtua yang lain, kami memutuskan untuk mendaki di malam hari. Dengan harapan saat esok anak-anak sampai dipuncak, kita sudah tersenyum menyambut segala lelah dan letihnya. Awalnya sangat ragu setelah mendengarkan cerita warga bahwa tak begitu nyaman untuk melakukan pendakian di malam hari, apa lagi ada keluarga yang membawa bayi umur 2 tahun dan ada juga yang membawa anak umur 4 tahun. Sempat akan menginap di homestay warga atas saran mereka, tapi entahlah… yang kami rasa hanya kekuatan cinta kami untuk putra-putri yang akan kami temui di Puncak Gunung yang bahkan belum kami ketahui seberapa tingginya.
Sebenarnya, Saya juga yang over semangat dan selalu provokasi orang tua lain untuk tetap melanjuntukan pendakian, “Ayo lah pak bukkk.. kan kita tetap berkeinginan naik ke Gunung untuk memberikan kejutan kepada anak-anak esok, entah itu sekarang atau besok. intinya harus mendaki gunung ini. Kita daki sekarang dan kita bisa istirahat diatas sambil menunggu anak-anak esok. Besok mereka akan berjuang dan bersusah-susah untuk membuktikan dirinya. Kenapa kita harus ragu untuk berjuang juga untuk mereka?? Yuk ah kita berangkat sekarang saja?!”.
Sejurus kemudian senyumku mengembang karna kamipun memulai petualangan. Dengan membawa tas Gunung besar dipunggung, kutapaki tanah tanah bebatuan. tak terbayang sama sekali bahwa medan nya akan terasa berat dan membuat ngos ngosan. Napas hampir terasa putus, dan otot-otot kaki mulai teriak protes minta berhenti. Meski begitu, selalu kukatakan hati.. “Harus bisaaaaa..bisaaaa!!!, bisikku dalam hati. Dannn… Ohhh Em Jeeee, baru sampai ke Pos 1 sudah membuatku rasanya setengah matiiii, Capekkkk makkkk!!
Ah tapi malu lah dengan putra kecil berumur 4 tahun yang tak terdengar nafas ngos-ngosannya sama sekali. “Ayo majuuu.. majuuu.. bentak nafasmu untuk lebih tertib mengantri diujung mulut dan hidungmu Richieeee!!”, lagi – lagi ku semangati diri ku sendiri. Beberapa saat nyender di tiang Gazebo pos 1, kami pun lanjuntkan kembali perjalanan ke pos 2. Medan yang kuharapkan bisa lebih bersahabat, malah sebaliknya lebih terasa kejam untuk kami. Hikz .. serasa mau menyerah saja ditengah terjal dinding-dinding batu yang menghimpit ini. Menapaki anak-anak tangga yang terbuat dari kayu-kayu untuk menghantar kan ke level yang lebih tinggi ini, menjadi tantangan diantara kempas-kempis napas dan tawa tawa kecil yang berasa tak bertenaga. “Masih semangat bu Richieeeeee??!!”, teriak salah satu peserta rombongan yang berusaha selalu menyemangati dan juga sebenarnya menyemangati diri nya sendiri. Bahkan saat sesampainya kita pada tantangan tracking yang menyeramkan, masih juga ada ibu ibu yang entah menggoda melucu atau memang benar-benar ragu, “Wahhh… ini muat gak ya jalan nya untuk bu Richie?? sepertinya.. hhhmmmm”. Aduhhh pantas nya memang saya pamit saja untuk pingsan. Ah tapi siapa yang akan menolong ku?? Himpitan dua batu besar yang hanya bercelah seukuran satu badan saja untuk dilewati, sudah menjadi momok tersendiri saat mengantri dideretan kesekian. apalagi dengar kata kata bu Zuli tadi. Tuhannnnnn… kalau badanku mungil, mungkin ku memilih untuk pura-pura pingsan dan itu akan memaksa teman-teman orang tua akan mengendongku. Ah tapi tubuh sebesar ini??? Hihihihihihiii…terasa Lucu, Seru dan keakraban mulai terjalin diantara kami yang belum lama saling mengenal (karna aku tercatat sebgai wali murid tahun ajaran baru ). Lagi-lagi teriakan teman kembali menyemangati, “Bagaimana bu Richieeee?? tetap Semangattttt??”, Tentu saja aku tak mampu menyahut dengan nada sesemangat beliau juga, walau memang tekad bulat ku diantara lelah dan letih untuk sampai diujung penantian (yaa..menanti esok untuk senyum atau tangisankah dari makluk kecilku) .Akhirnya dengan kerjasama dan uluran tangan tangan penuh kasih (ada seorang Bapak yang membawakan ransel gedeku, ada juga ibu-ibu yang membawakan literan minumanku dan aku pun melengang dengan berat tubuhku sendiri bersama selipat tikar. hahahaa, mungkin rasa rasanya mereka ingin menimpukku dari belakang. Wkwkwkkkwkwk).
Pos demi pos kami lalui yang tentu saja masih dihiasi nafas terengah-engah, teriakan semangat, ngikik bercanda dan tertawa bersama, rasa dan batin dalam hati untuk tidak kembali lagi karna kapok (mau turun tanggung, mau lanjut naik raga sudah protes minta berhenti… hahahaaa) dan entah masih banyak keseruan lainnya, dan akhirnya tiba di Pos 4 tepat dibawah puncak Gunung Api Purba, kami memutuskan istirahat dan memasang tenda. Ku lirik jam tangan dan kulihat menunjukkan hampir tengah malam; yahhh pukul 11.30 malam kami kelelahan dan mulai mencari tempat masing-masing untuk berbaring. Para ibu-ibu kebagian tidur didalam tenda, sedang bapak-bapak tidur diluar tenda. Ada yang diatas tikar dan ada yang diatas rumput saja. bahkan bayi kecil 2 tahun itu tak mau dipindah tidur di dalam tenda untuk sekedar lebih hangat sedikit. Kuat sekali dia. Padahal kami orang tua gelisah menahan dinginnya pelukan malam. Dan banyak yang tak bisa tidur sampai pukul 03 pagi kami bangun dan membuat api unggun hasil dari perburuan ranting-ranting kecil kami. Walau ada beberapa orang tua yang bisa mendengkur pula, nyatanya mereka mengaku tak bisa nyenyak dan masih memikirkan bocah bocah akan memulai perjalanan nya seusai sholat malam pukul 02 dini hari. Kami pun menunggu dengan membuat minuman-minuman hangat alakadarnya. Bergerak-gerak kecil untuk membakar sedikit kalori, berharap akan melepaskan pelukan sang angin malam.
Menunggu memang terasa lamaaaa dan jujur, dalam penantian sebenarnya aku ragu. Akankah bocah kecilku yang bahkan belum genap berusia 7 tahun itu akan sanggup menapaki terjal, sempit, licin, gelap, dingin, melawan lelah dan jauhnya medan tracking? Tuhannnnn, ku tak sanggup mengusir bayang-bayang ini. Mampu kan ia ya Allah.. Mampukannn!! Dan jika tidak sekalipun.. lindungilah perasaannya dan biarkan ia mencoba dalam kesempatan lainnya.
Waktu menungguku hanya habis untuk berfikir itu, tapi entah dalam selipan hati tetap ada harapan untuknya. Subuh pun sudah dilalui, belum ada tanda-tanda ada yang akan naik di tanah bebatuan tempat kami berpijak. Semakin cemaslah penantian ini dan masing-masing dari kami tak bisa berbohong untuk itu. Beberapa menit kemudian, masih dengan pelukan dinginnya Subuh, ada tawa dan teriakan-teriakan kecil mereka. Subhanallah.. rombongan team isam lah yang pertama kali tiba. Dan disini Tuhan benar-benar menampar keraguanku dengan senyum kecilnya saat melihatku. Tak ada napas terengah-engah seperti kami para orang tua tadi malam, tak ada letih dan keraguan. Semuanya terlihat ceria dengan senyum khas kecil mereka. Benar benar harus direnungkan, bahwa persiapan yang hakiki adalah kebersihan hati, niat tulus untuk mendekat kan diri. Bukan kepada urusan ransel besar berisi bermacam-macam bekal, atau kesenangan semata yang dicari. Dan sampai disini. kita bersama gapai puncak ke berhasilan diri nak.. kita maknai bersama-sama proses untuk menuju-Nya.
Ibu yang berada dalam kemasan tubuh dewasa ini,harus banyak belajar dari jiwa murnimu yang terlihat makhluk tak berdaya.Sampai disinilah..Ibu selalu bnyak belajar dari mu. Belajar dari keseruan dan keasyikan mu dalam mencari ilmu. Beruntung lah dirimu nak, Tuhan menuntun Ibu untuk membawamu ke tempat yang bisa mengajarkan nilai-nilai kebaikan ini. Andai ibu bisa kembali ke masa lalu, pasti ibu akan bergelayut dipundak eyangmu dan memohon untuk menempatkan ibu pada tempat seperti yang kau cintai ini. Yahh..”Sekolah Alam Bengawan Solo”, sahabat yang akan mengandeng tanganmu selalu dengan penuh gembira, keseruan dan petualangan untuk mencari ilmu.
Puas memandang dan menikmati keindahan dari puncaknya Gunung Api Purba, kita pun turun ketempat semula ibu menunggumu. Dengan perut kosong sedari pukul 02 dini hari tadi, masing-masing kelompokpun mulai memasak nasi dan beberapa lauk yang beraneka ragam dalam masing-masing kelompoknya (ada tempe goreng, sambel, ikan asin, sayur bayem dan bumbu pecel bekal dari rumah), sungguh seru melihat mereka saling berkerjasama mewujudkan hidangan paginya. Disinilah kembali kebersamaan, kekompakan dan kesederhanaan diajarkan pada bocah-bocah. Dan serunya lagi, ada segerombolan monyet-monyet liar yang seakan ikut menyapa kami dengan perutnya yang kosong juga. Berharap dari kejauhan ada manusia yang mau berbagi.
Tangan – tangan kecil itu pun begitu mengerti akan harapan para monyet dan melempar kan kepalan kepalan nasi. Wahhh…jadi teringat kembali pada keseruan kami para orang tua tadi malam saat Ibu-ibu rame rame pergi blusukan kesemak-semak untuk membuang stok air kecil kami. Untungnya disemak itu kami tak ditubruk sang monyet yang kini sedang agresif menunggu makanan yang hendak dibagi.
Lagi-lagi, kami tertawa bersama untuk pengalaman seru ini.. Ohhh benar-benar menunggu keseruan Outfa berikutnya. Akan kah kami akan menggila lagi??? Kita tunggu Agenda cah bocah Sekolah Alam Bengawan Solo berikutnya.
Ibu Richie Sofiani (Orang Tua Abrisam)