Bismillaah
Ketika siswa kita ada yang menjengkelkan dan melelahkan, hadirkan gambaran bahwa satu diantara mereka kelak akan menarik tangan kita ke Surga. Selamat berjuang bapak ibu guru, kebahagiaan kita adalah saat menyadari siswa kita adalah butiran tasbih pengabdian kita kepada-Nya.
Berjalannya waktu, tak terasa, nyaris 2 tema terlampaui bersama cahbocah Tosca. Hasil meraba karakter cahbocah pun semakin kentara. Empat bulan nyaris berlalu, penegasan pun mulai dilakukan. Terutama pada cahbocah yang perlu energy serta kesabaran ekstra.
Pekan kemaren, cahbocah ngajak masak-masak. Kami belum cooking class selama ini, aku oke-in permintaan mereka. Hari sebelumnya, aku sudah mulai menegaskan pada cahbocah, “Bila tak mau mengikuti aturan kelas mbak Dhiana, silakan tidak mengikuti kelas mbak Dhiana seharian (atau selamanya).” Kala itu hati Jumat dan 3 bocahku tidak mengikuti serangkaian kegiatan bersih-bersih. Mereka ialah Daffa, Adam, dan Hammam. Seharian itu pun aku berusaha untuk men-cueki mereka. Kala siangnya, Daffa terlihat merasakan konsekuensi dari perbuatannya. Dia pun semacam insyaf. Nah, pada pagi hari masak-masak, aku mensyaratkan pada cahbocah, bahwa yang boleh mengikuti kelas masak-masak ialah cahbocah yang sudah mencatat tugas WWP. Ada Ichsan, Daffa, (dan lagi-lagi) Hammam yang belum mencatat. Ketika ku persyaratkan seperti itu, Ichsan dan Daffa bisa menyelesaikan apa yang ku pinta. Namun lain hal nya dengan Hammam, dia berkelit. Aku mengajak cahbocah masak-masak di kos ku. Hanya Hammam yang masih tertinggal di luar. Aku pun mengontak mas jef, bahwa Hammam tidak mau masuk kelasku.
Beberapa waktu kemudian, mas Jef ke kos ku dan mengantarkan Hammam. “Ini mbak Dhiana, katanya Hammam mau masuk kelas mbak Dhiana”, ujar Mas Jef. Aku pun menerima dia dan membantu Hammam mau menulis tugas WWP. Sore menyapa dan Hammam baru menyelesaikan beberapa kalimat. Aku masih memberinya toleransi hingga hari esok.
Keesokan harinya, aku mengultimatumnya untuk menyelesaikan menulis tugas tersebut. Dan betapa turut bahagianya diriku ketika dia menyelesaikan menulis tugas tersebut (ukuran menulis yang cukup fantastis dari seorang Hammam menurutku) dan dia terlihat bersemangat ke kelas serta mengajukan diri untuk membaca iqro pertama kali. Aku pun bertanya padanya, “Mam, kok pagi ini kamu semangat banget?”. “Iya, mbak. Habis ga enak kayak kemaren. Sendirian di luar.” Ujar Hammam. Haha hatiku bersorak gembira. Kami pun ngobrol-ngobrol.
Dengan peningkatan derajat ketegasan ku pada cahbocah, aku pun menjadi lebih nyaman dan enjoy karena mereka terkesan lebih enak untuk diatur. *curhat wkwk. skip
Hari Senin kemaren, energy ku seolah terkuras. Pikiran dan hati serta emosi. Bagaimana tidak, aku sudah mencoba membersamai mereka untuk melangkah, dengan langkah terkecil pun. Namun masih ada yang belum mau bergerak untuk dirinya sendiri. Kala itu ada 2 anak yang belum tergerak mengerjakan worksheet yang kuberikan. Aku pun mengajak mereka mengerjakan dan kuberitahu step-step caranya (aku mincing-mancing mereka). Karena menurutku worksheetan tidak sekedar mengenai kertas yang terisi jawaban, namun mereka memiliki daya juang sehingga dari step minus pun ku harap mereka ‘mau jalan’.
Adam kupancing-pancing, Alhamdulillah aku cukup nyaman untuk membersamainya melangkah. Namun yang membuat ku dongkol dan emosiku terkuras ialah si H yang diajak jalan pun dia banyak alasan dan dia seolah berusaha berkelit. Dari yang awalnya bilang bahwa dia sakit hingga ganti baju. Wkwk, kalo dilogika kok lucu ya, hha. Ketika dia beralasan sakit, kujawab “Oke. Kalo kamu sakit, lebih baik kamu istirahat di perpus atau kantor. Biar diurusi mas Jef. Di kelas ini hanya untuk mereka yang mau mengerjakan”. Setelah aku begitukan cukup lama, dia terlihat mau tergerak, meski dengan langkah gontai. Beberapa waktu kemudian dia alasan ganti baju. Blablabla. Aku pun tetap berusaha mengajarinya step by step. Ketika ada step yang tidak terjawab atau tidak terselesaikan, maka dia tidak bisa menuju step selanjutnya, berlaku untuk suatu nomor. Karena dia tidak memiliki catatan, maka aku memintanya untuk meminjam teman. Dari tawaran solusiku itu saja dia berkilah, “Pinjam siapa? Pilihkan.”. untuk sesuatu yang kentara di depan matanya saja dia terlihat malas menjalankannya. Hatiku semakin lelah. Sebelum itu, aku meminta dia untuk membaca soal yang kuberikan di depan papan tulis. Entah bagaimana kelakuan dia, tetiba papan tulis itu jatuh ke atas lantai satu. Ku pinta dia untuk bertanggungjawab, namun dia tak mau, malah menangis, dan beralasan pula. Emosi ku memuncak. Aku diam sembari mengamati pekerjaan teman-teman yang lain. Tik tok tik tok…Aku angkat papan tulis itu dan kuletakkan pada tempatnya. Hammam pun mengerjakan soal yang lain dan aku pun membersamainya lagi. Lantas dia menyerah. Aku keluar kelas dengan keadaan emosi yang kalang kabut bin kebit-kebit. Dan ada pesan menyejukkan dari mbakku yang kuingat, “Ketika siswa kita ada yang menjengkelkan dan melelahkan, hadirkan gambaran bahwa satu diantara mereka kelak akan menarik tangan kita ke Surga. Selamat berjuang bapak ibu guru, kebahagiaan kita adalah saat menyadari siswa kita adalah butiran tasbih pengabdian kita kepada-Nya.”
Masdhiana Sukmawarni (Fasilitator Kelas IV TA 2016/2017)